Kamis, 13 Maret 2008

Mosh Pit: “Kami bukan band idealis”

Suara vokal sangar berteriak. Histeris. Bercampur dengan hentakan drum “double beat” seperti hentakan kuda yang berpacu liar dengan raungan distorsi gitar membuat suasana terkesan angker dan sangar adalah karakter musik yang diusung Band Mosh Pit, band Kota Medan yang tak mau menamakan dirinya band idealis.

“Kami bukan band idealis. Kami hanya merasa pas dengan aliran musik seperti ini. Mungkin belum saatnya bagi kami untuk berpikir komersil,” demikian ujar Judi, sang bassis Most Pit yang rutin latihan di Studio Lowrey Musik Studio (Simpang Kampus USU) Medan itu.

Mosh Pit digawangi lima personil yang sebagian adalah mahasiswa dan seorang sarjana ekonomi: Irul, gitaris. Empat personil lainnya: Eko (gitar) Dudi (bass), Raja (drum) dan Indra (vokal). Dibentuk sejak 2003, dengan obsesi ingin tampil diakui dengan aliran musik yang sebenarnya sangat jauh dari komersialisasi itu.

“Aliran musik kami adalah Metal Core,” ujar Indra, sang vokalis. “Tapi bukan berarti kami tidak ingin menjadi band besar dengan aliran yang mungkin tidak semua orang menyukainya. Itu terserah mereka. Yang penting, inilah kami,” lanjutnya.

Metal Core, seperti yang diutarakan para personil Most Pit, merupakan aliran metal yang banyak bermain dengan komposisi melodi lincah sehingga membentuk formasi rhytm yang selaras dengan hentakan beat, didukung dengan vokal lantang nan histeris.

“Komposisi musik Metal Core banyak bermain –istilahnya—dengan biji-biji melodi gitar cepat. Meski suara vokalnya lantang, tapi lirik kita tidak sesangar yang dibanyangkan kebanyakan orang, yakni lirik mistis. Tidak,” ujar Judi.

Selain itu, Mosh Pit mengaku tidak juga identik dengan karakter band metal yang sering diidentikan dengan karakter aneh juga. Semisal, sering mengadakan ritual-rutual aneh, seperti menggigit leher burung merpati hingga nyaris putus dan memuncratkan darah di panggung.

“Tidak. Tidak sampai sesadis dan seseram itu. Apalagi harus menyakiti binatang. Kami bermain musik untuk mengekspresikan diri kami,” ujar Indra. “Lagi pula, kami juga memikirkan bagaimana agar nanti kami bisa menjadi band yang bisa diakui,” sambungnya.


Meksi tampaknya mustahil, tapi Most Pit tetap optimis. Hal it mereka buktikan dengan karya mereka selama hampir empat tahun eksis. “Saat ini kami sedang mempersiapkan album perdana kami,” ujar mereka.

Beberapa lagu ciptaan mereka di antaranya sudah sering mereka perdengarkan pada even-even musik metal di Kota Medan, seperti “Dream For Our Existence”, “One Day I Die” dan “Innocent Hate”.

“Tema-tema musik kami lebih mengarah pada kehidupan dan cinta. Jangan salah persepsi jika kami mengalunkannya lewat musik metal, “ujar band yang masih berjalan di jalur indie itu.

Ketika ditanya soal kepuasan apa yang mereka alami saat memainkan musik mereka itu, dengan kompak mereka menjawab,” Kami merasa puas ketika kami main, ada penonton yang tergerak hatinya untuk moshing (ritual menggerak-gerakkan kepala dan badan ke depan –Red). Itu artinya, kami berhasil menciptakan Most Pit (ruang untuk moshing –Red),” ujar mereka tersenyum.

Selasa, 11 Maret 2008

GIBRAN BM, Lebih suka gitaris “jadul”


Gibran, gitaris Beautiful Monday ini, mengaku lebih suka gitaris “jadul” (jaman dulu) ketimbang gitaris modern yang lebih banyak mengutamakan teknik speed daripada harmonisasi dan penggabungan kord-kord yang kaya.

Sebut saja misalnya gitaris The Beatles, George Horrison, yang menurut Gibran telah menjadi rujukan para gitaris-gitaris generasi berikutnya. Selain dari segi teknik permainan, kelebihan George adalah kemampuannya menciptakan melodi dan chord-chord yang harmonis, kata Gibran.

“Saya melihatnya di situ. Saya lebih tertarik bermain dengan kord yang bisa dikembangkan menjadi melodi yang harmonis, seiring dengan alur musik,” komentas eks gitaris 70’s Pop Band ini.

Namun bukan berarti Gibran mengabaikan kemampuan gitaris-gitaris modern saat ini, yang secara teknologi lebih maju dan kreatif. Seperti Joe Satriani, misalnya. “Nah, kalau kelebihan Joe Satriani adalah kemampuannya membuat gitar seperti bernyanyi. Mendengar melodi yang dimainkan Joe, orang akan tahu apa pesannya; sedih atau senang,” ujar Gibran.

Selain, George Horrison, gitaris jadul yang banyak mempengaruhi permainan gitar Gibran adalah Jimmi Hendrix. Juga, beberapa gitaris band jadul lainnya, seperti Jimmi Page, gitaris Led Zeppelin.

“Merekalah sebenarnya gitaris original, yang telah banyak menciptakan teknik-teknik gitar. Gitaris selanjutnya hanya mengembangkan teknik yang mereka ciptakan itu; seperti ‘hammer’, ‘bending’ dan teknik lainnya,” komentar Gibran.

Teknik permainan gitar Gibran yang banyak diadopsinya dari teknik permainan gitar jadul itu, juga berimbas pada karakter musik yang dibawakan Beautiful Monday (BM). Karakter itu akan terasa jika mendengar Bibir Tipis Merah Jambu, hits yang sekaligus mengantarkan BM juara II dalam ajang A Mild Live Wanted, tahun lalu.

Tema “Bibir Tipis Merah Jambu” sendiri masih tak jauh dari persolan cinta. Liriknya, kata Gibran, ditulisnya susuai dengan inspirasi yang ia tangkap setelah menonton film “Great Expectation”, film yang diadopsi dari karya novelis Inggris Charles Dickens. Lirik ini digubah Gibran hanya selama 15 menit (TS).

All Right Reserved

BEAUTIFUL MONDAY, Percaya Diri, Itu yang Utama


Beautiful Monday kini menjadi salah satu nama yang disebut-sebut sebagai band berprestasi Kota Medan setelah berhasil menyabet juara II di ajang pencarian band berbakat “A Mild Live Wanted” pada awal pertengahan 2007 lalu. Prestasi ini sekaligus telah menaikkan pamor musik Medan.

YA, Beautiful Monday (BM), band besutan lima anak muda Medan: Gibran (gitar), Negro Ferdinando (vokal), Sigit Pramono (bass), Aulia Andika (drum) dan Fahri Ristianto (keyboard) ini telah berhasil melambungkan namanya sendiri dari antara band-band lain.

Sebelumnya, band yang terbentuk pada 2003 ini telah berhasil menggungguli 150 band asal Sumatera Utara (Sumut) dan Nanggroe Aceh Darusallam (NAD), yang telah melalui proses penyaringan ketat di daerahnya masing-masing.

Di Medan, dari 20 band; 3 band di antaranya yang lolos seleksi, termasuk BM yang kemudian berhasil mewakili wilayah Sumut dan Nanggroe Aceh Darussalam untuk mengikuti grand final di Jakarta.

“Kami tahu, banyak band Medan yang skillnya lebih hebat daripada kami. Makanya kami terkejut ketika band kami diumumkan menjadi wakil wilayah regional Sumut dan Aceh untuk mengikuti grand final di Jakarta,” ujar Gibran.

Setelah menjuarai di tingkat regional Sumut, BM diikutkan tampil di enam kota (Sumut – NAD) bareng 3 band “The Rising Star”: Ungu, Samson dan Naff.

Setelah itu, “Kami ke Jakarta untuk mengikuti grand final di Jakarta Hilton Convention Centre,” ujar band yang sebelumnya sering nongkrong di Studio Kirana di Jalan Darussalam Medan itu.

BM lalu mendapat juara II, mengungguli Riviera (juara III) dari Surabaya. Sedang, jawara I diraih The Massive dari Jakarta. Band favorit berasal dari Papua: 99.

Bibir Tipis Merah Jambu


Sejak empat tahun belakangan, ketika radio Medan sudah mulai peduli dengan band lokal, hits “Bibir Tipis Merah Jambu” (BTMJ) sudah sering diputar dan mulai akrab di telinga anak-anak muda Medan.

BTMJ adalah satu dari 12 hits hits karya BM yang mengangkat nama mereka. “Sebenarnya hits itu simpel saja. Kita menggabungkan warna musik rock n’ roll dengan karakteristik musik saat ini. Artinya, hits ini dikonsep agar bisa dinikmati semua orang,” ujar band yang mengaku banyak terinspirasi dan band-band legendaris Inggris, seperti The Beatles itu.

Hits BTMJ sekaligus menjadi salah satu pengisi album kompilasi “A Mild Live Wanted”. Terdiri dari 9 band terpilih dari seluruh kota di Indonesia, yang direkam di Musica Studio Jakarta. Selain itu, BM juga berhak mendapat mandapat royalty dari hasil penjualan album yang dirilis awal Mei lalu itu.

“Sejak awal terbentuk, kami sudah berobsesi untuk bisa menembus major label. Sejak itu kami terpikir untuk menciptakan lagu yang bisa dijual. Sebab untuk bisa eksis di musik, kita harus tahu dulu bahwa musik itu adalah industri,” ujar Gibran, eks gitaris band 70’s Pop itu.

Dalam waktu dekat, sesuai kontrak dengan A Mild, BM akan mengikuti konser yang akan digelar di 20 kota lagi; mulai dari Aceh sampai ujung Sumut.

Apa kiat BM untuk meraih semua prestasi itu? “Percaya diri, itu yang utama. Enggak ada yang enggak bisa. Itulah yang memotivasi mental band kami,” ujar mereka kompak (TS).

All Rights Reserved

Senin, 10 Maret 2008

Jubing Kristanto, dari Jurnalis ke Gitaris


Rupanya hobi tak hanya bisa membuat orang bahagia. Bagaimana pula rasanya menekuni sebuah pekerjaan yang berawal dari hobi. Tentu lebih puas dan lebih indah rasanya. Setidaknya itulah yang dialami Jubing Kristanto, yang melanglang hidup dari jurnalis ke gitaris. Ia kini lebih dikenal sebagai gitaris klasik Indonesia. Karena gitar, namanya bahkan ikut diukir di Museum Rekor Indonesia.

Ketika bergelut di dunia jurnalistik (wartawan, redaktur dan redaktur pelaksana) selama 13 tahun di salah satu tabloid nasional terkemuka, penghasilan Jubing memang lebih besar dibandingkan dengan profesinya menjadi gitaris seperti sekarang. Tapi, baginya kekayaan finansial bukanlah tujuan satu-satunya bermain gitar. Kepuasan batin dan kebahagiaan bisa menghibur orang adalah motivasinya. Inilah integritas bermusik seorang Jubing.

“Dibanding saat masih di industri media, total penghasilan per tahun jelas kalah. Begitu juga keamanan dalam hal aneka tunjangan. Namun kalau untuk hidup secukupnya, mengajar gitar dan main gitar pun bisa hidup. Dan saya sudah membuktikannya. Memang tidak bisa jadi kaya secara finansial,” katanya.

Gitar klasik, jika dibandingkan dengan alat musik lainnya, memang hanya diminati sedikit kalangan saja. Gitar sering diidentikkan sebagai alat musik pengamen jalanan yang kalah gengsi dengan piano, biola, elekton dan alat musik lainnya. Gitar malah dianggap tak lebih dari alat musik pengiring belaka, sekadar untuk digenjrang-genjreng. Tapi, nasib gitar bisa berubah di tangan Jubing. Gitar membawanya sejuta nilai: keyakinan, perjuangan dan pengorbanan, yang pada akhirnya ia menikmati manisnya. Mau tahu buktinya?

Beruntung Jubing memiliki orangtua yang mengerti talenta anaknya. Untungnya lagi, orangtua Jubing sendiri adalah pecinta musik yang bisa bermain gitar meski bukan sekelas profesional. Maka guru gitar pertamanya adalah orangtuanya.

Usia 12 tahun, Jubing sudah tampil mengiringi teman-teman sekolahnya dengan gitar di sebuah konser publik. Dua tahun kemudian ia bertekad serius belajar gitar klasik gara-gara terpesona menyaksikan kawannya bermain gitar tunggal. Sejak itu ia mulai belajar kepada Suhartono Lukito di Sekolah Musik Obor Mas Semarang. Setahun kemudian, ia pun jadi finalis Festival Gitar Indonesia 1982 untuk bagian bebas.

Wartawan merangkap gitaris

Pertengahan April kemarin, Jubing (begitu ia akrab disapa), tampil dalam konser Kwartet Punakawan di Tokyo Jepang dengan pianis Jaya Suprana, yang juga dikenal sebagai pendiri MURI.

Sebelumya, bersama dua personel Kwartet Punakawan, Heru (bas) dan Juned (perkusi) ia pun tampil dalam konser di gedung Konser ABC Radio di Melbourne Australia, Agustus 2006 lalu. Ini memang bukan pertama kali Jubing melanglang ke luar negeri karena gitar. Pertama kali pada 1984, diusia 18, ia berangkat ke Hongkong atas utusan Yayasan Musik Indonesia (YMI) Pusat mengikuti festival tingkat Asia Tenggara.

Festival yang berlangsung di Academic Community Hall, Hongkong, 9 Desember 1984 itu memberinya penghargaan Distinguished Award, setelah memainkan komposisi jazz Captain Caribe karya Earl Klugh dan lagu pop We're All Alone.

Inilah awal prestasi Jubing. Beberapa kali festival gitar yang diselenggarakan yayasan musik terkemuka di Indonesia -Yamaha-berhasil disabetnya, mulai dari dua kali meraih “runner up” hingga empat kali meraih “grand prize” pada bagaian kompetisi “Free Section”.

Semasa kuliah, antara tahun 1986- 1987 selain berfestival, Jubing juga memberi les-les privat dan ikut bermain band di kampus. Ia juga sempat mencicipi masuk studio rekaman berkat bantuan temannya Djono, mahasiswa antropologi yang sering mengajaknya ngeband.

Kemudian, seorang teman—Renee Nessa Sahir gitaris kini tinggal di Amerika Serikat—menawari Jubing untuk menggantikan posisinya mengiringi tamu-tamu yang sedang menikmati makan malam di Indonesia Petroleum Club (IPC), Jakarta.

Setamat dari UI, Jubing kemudian bekerja di tabloid terkemuka. “Ternyata menyenangkan juga menjadi reporter. Selalu berkeliling berbagai tempat dan bertemu macam-macam orang,” kata Jubing mengenang. Tapi bukan berarti ia menggantungkan gitarnya. Selama menjadi wartawan, di sela kesibukan bekerja, Jubing pun tak lupa gitarnya. Ia juga sempat berguru selama dua tahun pada Arthur Sahelangi.

Selain itu, Yayasan MURI memberinya penghargaan atas karyanya mengangkat martabat gitar klasik atas karyanya “Gitarpedia: Buku Pintar Gitaris” diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Ia juga menjadi orang Indonesia pertama yang menampilkan aransemen dan komposisi orisinal solo gitarnya lewat situsnya: www.geocities.com/jubing. Lewat situs pribadi itu pula karya-karyanya mulai dikenal dan dimainkan gitaris di berbagai negara. Capuccino Rumba misalnya, sudah dimuat di majalah gitar Soundboard (2000) yang dikelola “Guitar Foundation of America”. Beberapa karyanya pun menjadi lagu wajib ujian gitar pada sekolah musik Yayasan Pendidikan Musik (YPM), Jakarta. “Begitu kuatnya daya tarik gitar, maka saya memutuskan meninggalkan profesi jurnalis dan beralih menjadi guru dan gitaris profesional,” tulis Jubing.

Nah, Anda tentu punya hobi yang jika diasah dengan serius akan membawa hasil yang indah. Apa kuncinya? Integritas dan perjuangan. Jubing telah membuktikannya (TS).

All Rights Reserved

Gitar Pencetak Rupiah


Gitar, alat musik tua ini sebenarnya “ajaib”. Kenapa? Karena selain mampu menghilangkan sumpek dan bikin hati ceria, ternyata juga bisa bikin rupiah di kantong kita menumpuk. Bagaimana caranya? Tanya saja kepada Amran Lubis “gitaris apoteker” yang mengawali profesinya dari hobi.

Bosan “genjrang-genjreng” dengan musik kawula muda pada dekade 70-an dengan hiruk pikuk The Beatles dan sejenisnya, gitaris yang juga bekerja sebagai apoteker di sebuah apotek ini pun pindah ke musik klasik. “Saya ingin sesuatu yang lebih, yang bukan sekadar musik,” katanya kepada Global di ruang tempat ia menghabiskan hari-harinya sebagai guru gitar klasik di Era Musika Medan.

Maka selepas menamatkan SMP di Penyabungan, Madina pada 1976, Amran pun hijrah ke Kota Medan dan melanjutkan sekolah menengah atas (SMAN 5) sambil mengikuti kursus gitar klasik di Era Musika ketika beranjak ke kelas dua.

Tujuh tahun ia tekun belajar di bawah bimbingan dua orang guru gitar, Boyke lalu pindah kepada Tat Chu. Keduanya merupakan guru gitar pertama Era Musika yang pada masa itu masih berlokasi di kawasan Kesawan Medan. “Nah, dari mereka saya mulai serius dengan musik klasik mulai dari teori dan permainan sesungguhnya. Tapi saya tidak lupa sekolah dan melanjutkan perkuliahan,” katanya.

Amran ternyata begitu ngotot tapi tidak membangkang orangtua. “Orangtua saya sebenarnya lebih mengingini anaknya menjadi seorang sarjana teknik atau sejenisnya, yang penting sekolah di jalur formal,” katanya. Sehingga pada kursus gitar, orangtuanya hanya mampu membiayainya selama dua tahun. “Memang saat itu kondisi perekonomian orangtua saya sedang tidak stabil, karena ayah saya baru saja meninggal dunia,” kenangnya.

Berkat anjuran orangtuanya, Amran pun ikut Sipenmaru dengan mengambil jurusan Teknik dan MIPA jurusan farmasi pada tahun 1979. “Untungnya saya lulus di fakultas MIPA jurusan farmasi di Universitas Sumatera Utara, sehingga orangtua saya pun berhasil saya yakinkan,” katanya.

Kuliah Sambil Ngajar Gitar

Meski demikian Amran tidak melupakan gitar dan cita-cita sebenarnya, yaitu menjadi seorang guru musik. “Saya tidak tahu, dari kecil saya sudah terobsesi menjadi seorang guru musik,” katanya tersenyum. Tapi waktu itu ia dipaksa oleh keadaan, ketika orangtua tak sepenuhnya yakin dengan masa depan seorang musisi.

Menjalani tingkat empat perkuliahan atau setelah tujuh tahun menimba ilmu gitar klasik, Amran bertemu dengan T Koitzumi, seorang instruktur gitar klasik Jepang selaku penasihat yayasan musik spesialisasi gitar klasik yang berada di bawah lisensi Yamaha Coorporation Indonesia. Pada waktu itu, tahun 1986, Yamaha sedang mencari instruktur baru dan mengadakan audisi pada gitaris-gitaris muda Kota Medan.

“Dalam audisi itu Koitzumi senang dengan penampilan dan cara pengajaran saya di hadapan beberapa petinggi-petinggi gitar klasik lainnya. Tapi akhirnya saya lolos dan sejak itu saya resmi menjadi guru gitar seperti yang saya cita-citakan,” kenang Amran.

Dari situ Amran mulai mandiri. Mulai dari membiayai perkuliahan tanpa sepenuhnya lagi berharap dari orangtua hingga kebutuhan lainnya. Tapi jangan heran kalau Amran telat menyelesaikan kuliahnya. “Tapi saya tak pernah menyia-nyiakan kuliah saya, sebab bagi saya itu juga penting seperti yang dikatakan orangtua saya. Maka meski terlambat saya terus bertekad untuk menyelesaikannya,” katanya. “Jangan heran jika saya juga mampu me-manage sebuah apotek dan hapal betul banyak jenis-jenis obat-obatan,” katanya.

Amran memang seorang guru gitar tapi juga seorang apoteker. “Jelas dari gitar,” katanya sedikit keberatan, ketika menjawab dari mana sumber penghasilan rupiahnya yang terbesar. Memang ia bukan saja mengabdi di Era Musika.

Rezeki pun mulai berdatangan. Maka pada tahun 1989 Amran diminta menjadi dosen musik di Fakultas Kesenian Universitas HKBP Nommensen Medan yang masih ditekuninya hingga saat ini.

Dari situ pun ia berkenalan dengan Edward Van Ness, seorang Amerika yang juga dekan di fakultas itu dan memintanya mengajar di Medan Internasional School (MIS) Medan. Saat itu Edwad memang sedang membentuk sebuah program ekstrakurikuler di bidang musik, khusus bagi sekolah-sekolah yang mayoritas muridnya adalah orang-orang Eropa yang tinggal di Medan. “Nah, ia lantas memanggil saya dan menetapkan saya sebagai instruktur gitar di sana,” katanya.

Tapi sayang, kata Amran. Kedua putrinya tak sepenuhnya mengkuti langkahnya. Meski sebenarnya ia tak menginginkan agar talenta gitarnya menurun pada kedua putrinya. Tapi Amran bertekad menjadikan gitar klasik menjadi musik yang dicintai semua orang, khususnya anak muda yang saat ini “heboh” diguncang musik pop. Di samping itu ia juga ingin menunjukkan para orangtua bahwa bergelut di musik sejak dini juga dapat menjanjikan masa depan cerah pada anak-anak.

Ditanya soal prestasi, Amran pun menyayangkan masa-masa ketika ia sedang bertekun di gitar di masa mudanya. “Pada masa-masa itu, sangat jarang event-event perlombaan gitar, sehingga banyak gitaris yang tidak kesampaian melampiaskan kemampuannya,” ujarnya. “Maka, jalan satu-satunya adalah menjadi guru, karena inilah jalan satu-satunya untuk hidup di gitar,” cetusnya.

Itulah Amran yang tak akan pernah melepaskan gitarnya dari rangkulannya. Karena kini ia hidup untuk gitar dan gitar telah memberinya hidup. “Kini saya sadar gitar telah menjadi bagian dari hidup saya, yang tak menyesal memilikinya,” katanya (TS).

All Right Reserved

The Vintage: Jazz up Medan


Jazz… Apa yang akan terpikirkan di benak Anda dengan genre musik yang satu ini? Mungkin akan muncul beberapa jawaban: tidak komersil, rumit atau susah dicerna. Tapi tidak untuk The Vintage. Bagi mereka, jazz adalah musik yang asyik, seasyik mereka memainkannya. Juga, tidak serumit yang dibayangkan orang, karena mereka telah mencintainya lebih dulu.

YA, tak sulit memang mengakrabkan diri dengan musik yang lahir dari budaya Afrika ini. Masalahnya, orang selalu lebih dahulu memikirkan bahwa jazz adalah musik yang tidak “easy listening”. Dan butuh pemahaman khusus untuk menikmatinya. Begitulah. Dan masih banyak alasan lagi yang membuat orang “enggan” masuk ke dalam genre musik yang satu ini.

Sayangnya, argumen-argumen itu tampaknya meleset bagi band Medan bernama The Vintage ini. Bahkan, masing-masing personilnya: Kaka dan Roro (vokal), Erizon (terompet), Fikry (bass) Code (gitar), mengaku telah lama mencintai jazz, jauh sebelum band ini mereka bentuk pada awal November tahun lalu.

“Saya sudah kenal jazz sejak saya masih kecil,” ujar Erikson yang mengaku, ayahnya sering menonton acara musik jazz di TVRI sekitar 1980’an. “Perlahan saya pun mulai suka. Dan akhirnya menekuninya lebih serius,” ujar Erizon, yang kini juga mengajar instrumen jazz di Universitas Negeri Medan itu.

Fikry lain lagi. Lelaki yang juga mengajar di sekolah musik FARABI dan Purwacaraka Medan ini mengaku sudah jatuh cinta pada jazz sejak pertama kali ia mendengarkan rekaman vokal Boby McFarren.

Boby McFarren adalah vokalis jazz kulit hitam yang namanya sempat beken di era 1980’an dengan albumnya: “Don’t worry be happy”. Dia dikenal sebagai musisi jazz yang memiliki karakter tersendiri dengan kemampuan “Scatch Jazz” nya, yakni kemampuannya menggunakan suara-suara dari mulut untuk memainkan nada-nada jazz.

“Bagi saya, Boby-lah yang menginspirasi aku untuk main musik di jazz sekalipun alat musik yang aku mainin adalah bass,” kata Fikri. Hal yang tak jauh berbeda juga dikatakan masing-masing personil The Vintage.

“Entah kenapa jazz pas di telinga saya,” ujar Kaka, yang kuliah di jurusan Ekonomi dan samasekali tidak memiliki latar belakang musik secara formal ini.

Juga Roro, yang awalnya menyukai musik “oldies”, seperti The Beatles atau Naiff ini, akhirnya kepincut dengan jazz. “Jazz itu rupanya lebih asyik,” kata mahasiswi Etnomusikologi USU ini.

YA, sekalipun jazz tidak berasal dari budaya kita, seperti apa yang pernah dikatakan Ben Pasaribu, salah seorang musisi jazz senior Medan, jazz kini telah menjadi milik semua bangsa, semua suku, semua orang. Dan karena itu jugalah makanya sering disebut bahwa “Music is universal”, termasuk jazz itu sendiri.

***

Apa saja yang telah dikerjakan The Vintage, meski umurnya masih seumur jagung?

“YA, tentu saja kami belum pantas disejajarkan dengan band jazz yang sudah ada di Medan, seperti “Session Band”. Tapi, kami berharap bisa mengikuti langkah mereka paling tidak,” ujar Hafiz, sang manajer band yang biasa latihan di studio pribadi The Vintage: Orange Studio, di Jl. Dr. Mansyur Medan.

Menurut Kaka sendiri, saat ini The Vintage sedang konsentrasi mematangkan beberapa lagu-lagu standar jazz. Artinya, lagu-lagu ini nantinya akan menjadi modal utama mereka untuk bisa mengikuti even-even jazz yang akan diadakan di Kota Medan. Termasuk untuk memenuhi tawaran dari sebuah hotel berbintang di Kota Medan.

Menurut mereka, ada beberapa lagu-lagu standar yang wajib dikuasai bagi setiap musisi jazz. Di antaranya, “The Girl from Ipanema”, “Take Five”, “All the Things You Are”, “Satin Doll”, “All Blues” dan lain-lain.

Selain itu, The Vintage juga telah mempelopori lahirnya Medan Jazz Society, yang baru saja dibentuk 26 Januari kemarin. Ini adalah wadah baru bagi penikmat jazz Medan, yang diharapkan menjadi batu loncatan perkembangan musik jazz di Medan.

“Sekarang ini, jazz sudah tak asing lagi, khususnya bagi kalangan Medan sendiri. Penggemarnya pun sudah banyak. Sayangnya, wadahnya selama ini belum ada. Makanya kita membentuk Medan Jazz Society,” ujar Hafiz.

Medan Jazz Society yang dibina oleh Ben Pasaribu ini, kata Hafiz, akan rutin – sebulan sekali pada minggu ketiga – mengadakan even. Seperti, workshop seputar jazz, band performance dari musisi-musisi jazz Medan. Dan ajang diskusi bagi penggiat dan penikmat jazz Medan (TS).


All Rights Reserved